Tentang kami

Aliansi Mekar Pukul Empat adalah perkumpulan pelaku perbukuan anak independen Indonesia. Perkumpulan ini berdiri di Yogyakarta pada 19 Oktober 2022.Pukul Empat (Mirabilis Jalapa) adalah nama bunga. Meski nggak berasal dari Indonesia, bunga pukul empat atau bunga pagi-sore ini sudah akrab sama keseharian orang Indonesia. Bunga pukul empat juga punya banyak warna. Ini sejalan dengan keragaman pustaka anak Indonesia yang diusung aliansi!Menariknya, bunga ini dinamai "pukul empat" karena mereka memang mekar pada pukul empat, lho! Seperti setiap bunga yang punya waktu mekar masing-masing, begitu pula kita. Saat waktunya tiba, seperti bunga pukul empat, kita akan memekar dan mampu menunjukkan warna kita sendiri! Wuhuuu!Lalu, kebetulan, kami semua perempuan dan berjumlah empat saat memulakan aliansi ini. Jadi, nama yang mengandung unsur angka empat dan bunga yang dekat dengan perempuan ini rasanya cocok sekali: Aliansi Mekar Pukul Empat!

program

Pada Pukul Empat

Mengobrolkan topik-topik di sekitar perbukuan anak (Indonesia) secara lebih mendalam itu asyik dan perlu. Aliansi Mekar Pukul Empat mengadakan sarasehan triwulanan untuk memekarkan ide dan perspektif—menemukan keragaman dalam cakupan.


Kelopak Kelima

Program ini mengundang Bung dan Bunga untuk mendiskusikan topik-topik sekitar perbukuan anak yang relevan dengan situasi kekinian dalam format diskusi ringan.


©2024 Aliansi Mekar Pukul Empat

PUBLIKASI

Meramban Baca, Berteman dengan Gulma-gulma

Catatan pemantik "pada pukul Empat" edisi 1

ZULFA ADIPUTRI

...
Untuk menciptakan ekologi perbukuan yang sehat, tiap-tiap pihak yang bermacam-macam itu sama-sama berharga. Pembaca, penulis, penerbit, ilustrator, pustakawan, distributor; yang besar, yang kecil, yang diurus dua orang, yang bergedung lima lantai …. Mereka tak hanya beragam dalam hal jenis atau ukuran saja, melainkan juga dalam paradigma dalam melihat masalah serta menawarkan solusinya. Memelihara ekologi perbukuan berarti memberikan ruang bagi pihak-pihak tersebut untuk bertumbuh dan berbunga, mengulang siklus benihnya lagi dan lagi, tanpa kekhawatiran mati terlantar atau sengaja dicerabut.
...

korespondensi

Tentang kami

Pukul Empat (Mirabilis Jalapa) adalah nama bunga. Meski nggak berasal dari Indonesia, bunga pukul empat atau bunga pagi-sore ini sudah akrab sama keseharian orang Indonesia. Bunga pukul empat juga punya banyak warna. Ini sejalan dengan keragaman pustaka anak Indonesia yang diusung aliansi!Menariknya, bunga ini dinamai "pukul empat" karena mereka memang mekar pada pukul empat, lho! Seperti setiap bunga yang punya waktu mekar masing-masing, begitu pula kita. Saat waktunya tiba, seperti bunga pukul empat, kita akan memekar dan mampu menunjukkan warna kita sendiri! Wuhuuu!Lalu, kebetulan, kami semua perempuan dan berjumlah empat saat memulakan aliansi ini. Jadi, nama yang mengandung unsur angka empat dan bunga yang dekat dengan perempuan ini rasanya cocok sekali: Aliansi Mekar Pukul Empat!


semboyan

in libris, libertas.

"In libris, libertas" jadi semboyan Aliansi Mekar Pukul Empat. Diambil dari bahasa Latin, "in libris, libertas" berarti "dalam buku, kebebasan ada."Kami meyakini bahwa buku anak punya kekuatan untuk membebaskan pembacanya, baik pembaca kecil maupun pembaca dewasa seperti Bung dan Bunga. Buku dapat membebaskan diri dari ketidaktahuan, dari kesombongan, dari penindasan.


misi

• Menjalin hubungan sinergis antarpelaku perbukuan anak Indonesia.
• Membuka ruang dialog yang inklusif untuk membicarakan isu-isu perbukuan anak Indonesia.
• Memantik studi-studi yang lebih mendalam dan berarti di bidang perbukuan anak Indonesia.
• Mendorong terbitnya buku anak Indonesia yang lebih beragam, eksperimentatif, dan mampu menunjukkan kedirian sebagai orang Indonesia dengan lebih otentik.
• Mendorong ekosistem perbukuan yang berpihak pada anak sebagai manusia yang utuh.


PADA PUKUL EMPAT TAHUN I

Edisi 1, tahun 1, 2024

ini standar,
itu standar

Apakah batas-batas yang dibuat negara demi kebajikan buku anak justru kurang bijak dan mengungkung daya cipta para pelaku perbukuan anak?Pemantik:
Zulfa Adiputri

Edisi 2, tahun 1, 2024

Aduh,
disensor!

Apakah suatu kata atau ilustrasi bisa jahat sekaligus berbahaya karena negara bersama orang dewasa mengarahkan seperti itu?Pemantik:
Setyaningsih

Edisi 3, tahun 1, 2024

Buku Anak Indonesia Sebagai Warga Dunia

Jika bacaan anak Indonesia adalah bagian dari dunia yang lebih luas, seperti apa sih sosoknya?Pemantik:
Nai Rinaket

Edisi 4, tahun 1, 2024

Sambung-Menyambung Menjadi Baru

Bagaimana sih para pelaku perbukuan bisa saling berkelindan dan ruang eksperimentasi buku anak diciptakan?Pemantik:
Yulia Loekito

Meramban Baca, Berteman dengan Gulma-gulma

ZULFA ADIPUTRI

Saya punya adik perempuan. Di samping bersibuk-sibuk dengan pekerjaannya sebagai juru gambar, ia suka bertanam. Dari dia saya mendengar istilah seperti permakultur dan pertanian alami, juga nama-nama seperti Iskandar Waworuntu dan Masanobu Fukuoka.Menanam-nanam bersama adik saya yang satu ini kadang asik-asik-repot. Anehnya, dibanding diceramahi untuk harus begini, harus begitu, dia lebih banyak menyarankan, “Jangan dicabut, memang seharusnya seperti itu!” Apa yang ia maksud di sini adalah soal tanaman-tanaman yang kebanyakan orang sebut sebagai gulma.Saat bicara soal gulma, sebagian besar mengasosiasikannya dengan “yang tak diharapkan”. Tanaman yang tak berguna dan sepatutnya dicabut karena mengganggu. Namun, ilmu “aneh” adik saya itu melihat gulma dengan cara yang sungguh berbeda. Siapa yang melabeli mereka sebagai gulma? Sebelum disebut demikian, tanaman ini adalah tanaman saja.Pikiran saya kemudian melompat ke hal lain. Vandhana Shiva, seorang aktivis asal India, menyebutkan kemiripan antara persoalan pangan dan persoalan perbukuan yang dihadapi dunia modern saat ini. Keduanya sama-sama dijepit kapitalisme dalam pasar oligopolistik; sama-sama berdampak besar terhadap kelestarian alam; sama-sama terjerumus dalam homogenisasi. Katanya, sih, begitu.Homogenisasi atau penyeragaman dibuat karena keperluan efisiensi. Perawatan jadi mudah. Semprot satu macam obat untuk 10.000 hektar, manjur. Homogenisasi juga terbukti meningkatkan produktivitas. Dengan satu formula baku, memproduksi pangan jadi jauh lebih cepat. Sat-set, dan jadilah. Homogenisasi tak jadi masalah saat persoalan pangan dipahami sebagai masalah kebutuhan fisik saja, yang diukur dengan indikator kuantitatif berupa jumlah kalori.Namun, ada yang terlupa dalam perspektif semacam ini: di mana ada manusia, selalu ada kelindan sosial-budaya. Jika memercayai hal ini, menyelesaikan masalah pangan adalah urusan memelihara keberagaman, tak hanya keberagaman hayati namun juga keberagaman sosial. Lagi, menurut pandangan Vandhana Shiva, urusan perbukuan pun demikian.Saya adalah anak bau kencur di bidang perbukuan, khususnya buku anak, di Indonesia. Berada dalam dunia yang kompleks—jika tak mau dikatakan carut-marut—ini sungguh mendebarkan. Dalam upaya meraba-raba kompleksitas tersebut, saya jadi rajin browsing-browsing dan menemukan sebuah organisasi aliansi penerbit independen.Organisasi ini menggunakan istilah yang sama sekali asing bagi saya: ekologi perbukuan. Lama baru saya mengerti maksud penggunaan istilah ini. Organisasi ini melihat tiap-tiap komponen dalam perbukuan sebagai “yang hidup”–the livings. Argumen mereka, tak cukup buku diciptakan hanya berbasis efisiensi, sebab buku adalah wadah menyampaikan dan bertukar cara pandang. Makin sedikit macam, makin sempit penglihatan dan wawasan. Buku adalah “energi” dan “nutrisi” yang diputar dalam sistem kehidupan yang berkesinambungan.Untuk menciptakan ekologi perbukuan yang sehat, tiap-tiap pihak yang bermacam-macam itu sama-sama berharga. Pembaca, penulis, penerbit, ilustrator, pustakawan, distributor; yang besar, yang kecil, yang diurus dua orang, yang bergedung lima lantai …. Mereka tak hanya beragam dalam hal jenis atau ukuran saja, melainkan juga dalam paradigma dalam melihat masalah serta menawarkan solusinya. Memelihara ekologi perbukuan berarti memberikan ruang bagi pihak-pihak tersebut untuk bertumbuh dan berbunga, mengulang siklus benihnya lagi dan lagi, tanpa kekhawatiran mati terlantar atau sengaja dicerabut.Menyadari hal tersebut, saya tentu tak bisa menghindar untuk bertanya bagaimana situasi keberagaman perbukuan atau bibliodiversity di Indonesia saat ini. Jujur saja, saya tak tahu. Untuk menjawabnya dengan pasti, diperlukan riset. Untuk melakukan riset, diperlukan dana. Yak, mentok sampai di situ.Tetapi, ada beberapa kejadian belakangan ini yang bikin saya deg-deg-ser dan berpikir, apakah ini gejala awal perbukuan (anak) di Indonesia cenderung terhomogenisasi? Dalam jenis manakah aku dianggap, yang potensial atau yang terbiar sial? Tuh kan, jadi deg-deg-ser.Ah, ah, meski demikian, saya rasa, saya masih punya harapan meskipun “apes-apesnya” tergolong gulma (jangan salah, saya seneng dianggap sintrong atau kubis-kubisan). Sebab, ada saja orang-orang yang percaya dan berkata, “Jangan dicabut, memang seharusnya seperti itu!” seperti para penganut Fukuoka macam adik saya itu. Mereka yang meramban buku dari yang liar dan tak masuk standar (efisiensi dan produktivitas). Pada mereka saya ingin mengucapkan “halo” dan “terima kasih” karena membiarkan kami yang liar ini menebar benih lagi hari ini. Saya harap kamu yang membaca ini pun (akan) jadi salah satunya.[]